Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 500-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Kanwil DJKN Kalimantan Barat > Artikel
Hilangkan Rasisme dan Diskriminasi Terhadap Etnis Tionghoa dengan Asimilasi Integrasi Tionghoa-Indonesia Tanpa Paksaan
Thaus Sugihilmi Arya Putra
Jum'at, 11 Februari 2022   |   42803 kali

Hilangkan Rasisme dan Diskriminasi Terhadap Etnis Tionghoa dengan Asimilasi Integrasi Tionghoa-Indonesia Tanpa Paksaan

Oleh: Thaus Sugihilmi Arya Putra *)

Sejak masa Pemerintah kolonial Belanda hingga sekarang sesungguhnya etnis Tionghoa telah mengalami banyak diskriminasi. Berdasarkan data yang penulis peroleh beberapa diskriminasi yang dialami etnis Tionghoa pada masa sebelum Orde Lama (masa pemerintahan Soekarno) yaitu pada jaman pemerintah kolonial Belanda, diantaranya yaitu: a. Diskriminasi berupa pemberian privilege atau keistimewan-keistimewaan khusus kepada etnis Tionghoa  dibandingkan golongan masyarakat lainnya yang membuat etnis Tionghoa memiliki kedudukan lebih tinggi daripada etnis/golongan masyarakat lainnya non etnis Tionghoa sesuai dengan hukum kolonial Belanda. Hukum kolonial dimaksud yaitu kebijakan tentang kependudukan Pasal 163 Indische StaatSregelling Wet van 2 September 1854, Ned. S. 1854-2, S. 1855-2 jo. 1, yang membagi penduduk Hindia Belanda menjadi 3 (tiga) golongan penduduk, yakni : (1) Golongan Eropa; (2) Golongan Timur Asing, seperti Tionghoa, India, Arab; dan (3) Golongan Pribumi; b. Diskriminasi dalam bidang status sosial masyarakat dengan cara membuat sistem pemukiman yaitu dengan terbitnya ketentuan Wijkenstelsel pada tahun 1746 yang berlaku untuk etnis Tionghoa yang mengatur tentang daerah tempat tinggal sehinga etnis Tionghoa daerah tempat tinggalnya terpisah dari perkampungan masyarakat non etnis Tionghoa dan diharuskan mengelompok dengan etnis Tionghoa yang lain, dan ketentuan Passenstelsel yang mengatur ruang gerak etnis Tionghoa, UU Agraria juga menjelaskan bahwa etnis Tionghoa tidak diperbolehkan untuk memiliki tanah.

Pada masa pemerintahan Soekarno di era Orde Lama, kebijakan terhadap etnis Tionghoa mengalami pasang surut. Pada masa ini sekolah-sekolah dijinkan tetapi di bawah pengawasaan yang ketat. Begitu juga kesenian-kesenian Tionghoa pada masa Orde Lama cukup banyak. Namun tetap terjadi pula diskriminasi dalam bidang ekonomi antara lain diberlakukan larangan terhadap perdagangan secara eceran yang dilakukan orang-orang asing di wilayah pedesaan (PP 10 tahun 1959).

Pasca pecahnya pemberontakan G 30 S/ PKI di Jakarta yang gagal di mana terindikasi keterlibatan Pemerintahan RRT lalu dilanjutkan dengan operasi penumpasan, diskriminasi terhadap etnis Tionghoa semakin menjadi-jadi antara lain ditandai dengan adanya pelarangan terhadap budaya Tionghoa di Indonesia. Sedangkan bentuk-bentuk diskriminasi yang dialami oleh etnis Tionghoa pada masa rezim Orde Baru dibawah kendali presiden Soeharto, diantaranya: a.  Menutup semua sekolah yang berbahasa Tionghoa (1966). Pada tahun 1967 juga dilarang menggunakan aksara Tionghoa di tempat umum, seperti merk toko atau perusahaan, buku, majalah, atau surat kabar; b. Diskriminasi dalam bidang sosial-budaya seperti pergantian nama dan bahasa; c. Diskriminasi dalam bidang keagamaan (kepercayaan) yaitu dengan hanya membolehkan melakukan kegiatan keagamaan dalam lingkungan sendiri dan tidak boleh diperlihatkan pada umum; d. Diskriminasi berupa larangan perayaan Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh dan upacara ritual kebudayaan Tionghoa seperti barongsai dan sebagainya,

 Pada masa Orde Baru di jaman pemerintahan Presiden Soeharto telah dikeluarkan beberapa peraturan yang mengatur asimilasi Tionghoa-Indonesia yang bersifat pemaksaan. Beberapa peraturan tersebut di antaranya: a. Ketetapan MPR Sementara (TAP MPRS) nomor 32 tahun 1966, pemerintah melarang penggunaan aksara dan bahasa Tionghoa untuk media massa dan nama toko/perusahaan; b. Keputusan Presidium Kabinet No. 127/ 4/ Kep/ 12/ 1966/ mengenai ganti nama WNI yang memakai nama Tionghoa; c. Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967 tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa.; d. Instruksi Presidium Kabinet No. 37/ U/ IN/ 6/ 1967 tentang Kebijaksanaan Pokok Masalah Tionghoa; e. Kabinet No. 37/ U/ 6/ 1967; f. Keputusan Presiden RI. No. 240 tahun 1967 tentang Kebijaksanaan Pokok yang menyangkut Warga Negara Indonesia Keturunan Asing; g. Undang-Undang No. 4 tahun 1969 tentang Pernyataan Tidak Berlakunya UU No. 2 tahun 1958 tentang Persetujuan Perjanjian antara RI dengan RRC mengenai soal Dwikewarganegaraan; h. Surat Edaran Departemen Kehakiman tentang Penyelesaian Soal-Soal Kewarganegaraan RI tertanggal 1 Juli 1969; i. Keputusan Presiden RI No. 13 tahun 1980 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Kewarganegaraan RI, tertanggal 11 Februari 1980.

Sedangkan pada era Reformasi atau Pasca Orde Baru telah terbit beberapa kebijakan terkait asimilasi Tionghoa-Indonesia  yaitu: a. Presiden Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden RI No. 26 tahun 1998 untuk membatalkan peraturan-peraturan yang bersifat diskriminatif; b. Presiden Abdurachman Wahid menerbitkan Keppres No. 6 tahun 2000 yang mencabut Inpres No. 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa. Dengan terbitnya Keppres ini, maka perayaan Konghuchu ataupun aktivitas kebudayaan warga Tionghoa lainnya tidak perlu lagi ijin khusus; c. Selanjutnya pemerintah RI mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Agama RI No. 13 tahun 2001 yang menetapkan Hari Raya Tahun Baru Imlek sebagai Hari Libur Fakultatif, mengijinkan libur bagi pelajar dan pegawai etnis Tionghoa yang sedang merayakan Imlek; d. Presiden Megawati melalui Keppres RI No. 19 tahun 2002 menetapkan Tahun Baru Imlek menjadi Hari Libur Nasional.

Berkaitan dengan uraian yang penulis telah sampaikan di atas, menurut hemat penulis: a. Pemberian privilege atau keistimewan berupa pemberian status khusus etnis Tionghoa dalam penggolongan penduduk oleh pemerintah kolonial Belanda pada dasarnya merupakan diskriminasi . Namun jika ditelisik lebih mendalam lagi, hal ini dilakukan oleh Pemerintah kolonial Belanda tidak lepas dari salah satu bentuk refleksi politik devide et impera Pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Pembedaan berupa privilege kepada etnis Tionghoa pula lah sesungguhnya yang telah menyebabkan kurang terjalinnya interaksi yang hangat dan harmonis antar etnis; b. Kebijakan ekonomi pemerintah khususnya Orde Baru yang sangat diskriminatif terhadap etnis Tionghoa. Di satu sisi larangan pemerintah yang membatasi dan memfokuskan ruang gerak minoritas etnis Tionghoa pada bidang ekonomi sehingga terjadi peningkatan yang menakjubkan terhadap perekonomian warga Tionghoa, namun di sisi lain kegiatan perekonomian masyarakat non etnis Tionghoa menjadi semakin terpinggirkan. Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa ini telah berdampak negative pula yaitu menyebabkan berkurangnya partisipasi aktif politik etnis Tionghoa bahkan terkesan apatis (tidak peduli dengan situasi perpolitikan nasional); d. Hendaknya konsep tentang asimilasi diarahkan pada asimilasi  yang wajar, yang lebih menekankan sifat sukarela dari pembauran, dan tidak membenarkan hambatan yang sengaja dibuat terhadap proses asimilasi, tetapi juga sebaliknya tidak dapat menyetujui tindakan paksaan asimilasi; e. Kebijakan politik yang diskriminatif pada masa Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto, alih-alih berusaha untuk mewujudkan asimilasi total pada seluruh aspek kehidupan orang Tionghoa justeru berperan sangat besar dalam kepunahan budaya Nusantara.; f. Perlunya penguatan paham asimilasi dengan integrasi “ke-Tionghoa-an” sebagai suku yang sederajat dengan suku-suku lain di Indonesia. Sedangkan konsep asimilasi (pembauran bersifat pemaksaan) berarti menghilangkan identitas “ke-Tionghoa-an” tersebut secara berangsur-angsur sudah selayaknya untuk ditinggalkan karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman dan melanggar HAM; g. Perlunya pendidikan multikulturalisme sejak dini melalui lembaga-lembaga pendidikan formal dan non formal agar pada tiap siswa/anak didik lebih dini muncul/tertanamkan rasa toleransi terhadap keberagaman budaya, agar  mampu menjadi pengikat dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sikap saling menghargai, toleransi, mampu hidup bersama dalam keragaman adalah tujuan dari multikulturalisme, yang dapat dimiliki setiap insan melalui pendidikan multikultural. Selain itu, akan pula timbul pengakuan atas pluralisme budaya. Sebab pluralisme budaya bukan suatu pemberian (given),tetapi merupakan suatu proses internalisasi nilai-nilai di dalam suatu komunitas; g.   Asimilasi yang tidak sekedar formalistik yaitu hanya menyentuh dunia simbolik yang terkait dengan dunia sosial seperti pergantian nama, bahasa, dan agama (kepercayaan) serta bukan sosial budaya atau kebudayaan dalam arti perilaku manusia dalam masyarakat yang telah terpola sedemikian rupa. Beruntung di wilayah Provinsi Kalimantan Barat khususnya di Kota Singkawang yang berjuluk kota Amoy ini masih mampu mempertahankan budaya Tionghoa. Keturunan Tionghoa di sana beruntung karena 40 persen penduduknya berasal dari etnis Tionghoa. Namun tidak semuanya juga bisa membaca atau menulis huruf Mandarin, meski cakap berbicara bahasa tersebut. Perayaan-perayaan budaya Tionghoa seperti Imlek, Cap Go Meh dan sebagainya pun terasa amat kental auranya dengan hiasan lampu-lampu lampion di Kota Singkawang jika dibandingkan dengan di kota-kota lainnya.

Berkaitan dengan kebijakan asimilasi bersifat pemaksaan yang pernah diterapkan pada masa Orde Baru khususnya terkait kewajiban penggantian nama dari nama yang bersifat ke-Tionghoa-an menjadi nama lokal menurut hemat penulis amatlah tidak manusiawi, sebab pernahkah terbetik di pikiran kita, kira-kira di negara lain mana pemerintahnya mewajibkan orang nonpribumi untuk mengganti nama mereka supaya sama dengan orang-orang pribuminya?? Barangkali bisa ditanyakan kepada saudara kita yang tinggal di Argentina apakah disuruh mengganti namanya menjadi Maradona atau Messi atau apa?

*) Penulis adalah Kepala Seksi Informasi pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kalimantan Barat

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini