Hilangkan Rasisme dan Diskriminasi Terhadap Etnis Tionghoa dengan
Asimilasi Integrasi Tionghoa-Indonesia Tanpa Paksaan
Oleh: Thaus Sugihilmi Arya Putra *)
Sejak masa Pemerintah kolonial Belanda hingga
sekarang sesungguhnya etnis Tionghoa telah mengalami banyak diskriminasi.
Berdasarkan data yang penulis peroleh beberapa diskriminasi yang dialami etnis
Tionghoa pada masa sebelum Orde Lama (masa pemerintahan Soekarno) yaitu pada
jaman pemerintah kolonial Belanda, diantaranya yaitu: a. Diskriminasi berupa pemberian
privilege atau
keistimewan-keistimewaan khusus kepada etnis Tionghoa dibandingkan golongan masyarakat lainnya yang
membuat etnis Tionghoa memiliki kedudukan lebih tinggi daripada etnis/golongan
masyarakat lainnya non etnis Tionghoa sesuai dengan hukum kolonial Belanda. Hukum
kolonial dimaksud yaitu kebijakan tentang kependudukan Pasal 163 Indische
StaatSregelling Wet van 2 September 1854, Ned. S. 1854-2, S. 1855-2 jo. 1, yang
membagi penduduk Hindia Belanda menjadi 3 (tiga) golongan penduduk, yakni : (1)
Golongan Eropa; (2) Golongan Timur Asing, seperti Tionghoa, India, Arab; dan
(3) Golongan Pribumi; b. Diskriminasi dalam bidang status sosial masyarakat
dengan cara membuat sistem pemukiman yaitu dengan terbitnya ketentuan Wijkenstelsel pada tahun 1746 yang
berlaku untuk etnis Tionghoa yang mengatur tentang daerah tempat tinggal
sehinga etnis Tionghoa daerah tempat tinggalnya terpisah dari perkampungan
masyarakat non etnis Tionghoa dan diharuskan mengelompok dengan etnis Tionghoa
yang lain, dan ketentuan Passenstelsel
yang mengatur ruang gerak etnis Tionghoa, UU Agraria juga menjelaskan bahwa
etnis Tionghoa tidak diperbolehkan untuk memiliki tanah.
Pada masa pemerintahan Soekarno di era Orde Lama,
kebijakan terhadap etnis Tionghoa mengalami pasang surut. Pada masa ini sekolah-sekolah
dijinkan tetapi di bawah pengawasaan yang ketat. Begitu juga kesenian-kesenian
Tionghoa pada masa Orde Lama cukup banyak. Namun tetap terjadi pula
diskriminasi dalam bidang ekonomi antara lain diberlakukan larangan terhadap
perdagangan secara eceran yang dilakukan orang-orang asing di wilayah pedesaan
(PP 10 tahun 1959).
Pasca pecahnya pemberontakan G 30 S/ PKI di Jakarta
yang gagal di mana terindikasi keterlibatan Pemerintahan RRT lalu dilanjutkan
dengan operasi penumpasan, diskriminasi terhadap etnis Tionghoa semakin
menjadi-jadi antara lain ditandai dengan adanya pelarangan terhadap budaya
Tionghoa di Indonesia. Sedangkan bentuk-bentuk diskriminasi yang dialami oleh
etnis Tionghoa pada masa rezim Orde Baru dibawah kendali presiden Soeharto,
diantaranya: a. Menutup semua sekolah
yang berbahasa Tionghoa (1966). Pada tahun 1967 juga dilarang menggunakan
aksara Tionghoa di tempat umum, seperti merk toko atau perusahaan, buku,
majalah, atau surat kabar; b. Diskriminasi dalam bidang sosial-budaya seperti
pergantian nama dan bahasa; c. Diskriminasi dalam bidang keagamaan
(kepercayaan) yaitu dengan hanya membolehkan melakukan kegiatan keagamaan dalam
lingkungan sendiri dan tidak boleh diperlihatkan pada umum; d. Diskriminasi
berupa larangan perayaan Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh dan upacara ritual
kebudayaan Tionghoa seperti barongsai dan sebagainya,
Pada masa Orde
Baru di jaman pemerintahan Presiden Soeharto telah dikeluarkan beberapa
peraturan yang mengatur asimilasi Tionghoa-Indonesia yang bersifat pemaksaan.
Beberapa peraturan tersebut di antaranya: a. Ketetapan MPR Sementara (TAP MPRS)
nomor 32 tahun 1966, pemerintah melarang penggunaan aksara dan bahasa Tionghoa
untuk media massa dan nama toko/perusahaan; b. Keputusan Presidium Kabinet No.
127/ 4/ Kep/ 12/ 1966/ mengenai ganti nama WNI yang memakai nama Tionghoa; c.
Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967 tentang Agama Kepercayaan dan Adat
Istiadat Tionghoa.; d. Instruksi Presidium Kabinet No. 37/ U/ IN/ 6/ 1967 tentang
Kebijaksanaan Pokok Masalah Tionghoa; e. Kabinet No. 37/ U/ 6/ 1967; f.
Keputusan Presiden RI. No. 240 tahun 1967 tentang Kebijaksanaan Pokok yang
menyangkut Warga Negara Indonesia Keturunan Asing; g. Undang-Undang No. 4 tahun
1969 tentang Pernyataan Tidak Berlakunya UU No. 2 tahun 1958 tentang
Persetujuan Perjanjian antara RI dengan RRC mengenai soal Dwikewarganegaraan;
h. Surat Edaran Departemen Kehakiman tentang Penyelesaian Soal-Soal
Kewarganegaraan RI tertanggal 1 Juli 1969; i. Keputusan Presiden RI No. 13
tahun 1980 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Kewarganegaraan RI,
tertanggal 11 Februari 1980.
Sedangkan pada era Reformasi atau Pasca Orde Baru telah
terbit beberapa kebijakan terkait asimilasi Tionghoa-Indonesia yaitu: a. Presiden Habibie mengeluarkan
Instruksi Presiden RI No. 26 tahun 1998 untuk membatalkan peraturan-peraturan
yang bersifat diskriminatif; b. Presiden Abdurachman Wahid menerbitkan Keppres
No. 6 tahun 2000 yang mencabut Inpres No. 14 tahun 1967 tentang agama,
kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa. Dengan terbitnya Keppres ini, maka
perayaan Konghuchu ataupun aktivitas kebudayaan warga Tionghoa lainnya tidak
perlu lagi ijin khusus; c. Selanjutnya pemerintah RI mengeluarkan Surat
Keputusan Menteri Agama RI No. 13 tahun 2001 yang menetapkan Hari Raya Tahun
Baru Imlek sebagai Hari Libur Fakultatif, mengijinkan libur bagi pelajar dan
pegawai etnis Tionghoa yang sedang merayakan Imlek; d. Presiden Megawati
melalui Keppres RI No. 19 tahun 2002 menetapkan Tahun Baru Imlek menjadi Hari
Libur Nasional.
Berkaitan dengan uraian yang penulis telah sampaikan
di atas, menurut hemat penulis: a. Pemberian privilege atau keistimewan berupa pemberian status khusus etnis
Tionghoa dalam penggolongan penduduk oleh pemerintah kolonial Belanda pada
dasarnya merupakan diskriminasi . Namun jika ditelisik lebih mendalam lagi, hal
ini dilakukan oleh Pemerintah kolonial Belanda tidak lepas dari salah satu
bentuk refleksi politik devide et impera
Pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Pembedaan berupa privilege kepada etnis Tionghoa pula lah sesungguhnya yang telah
menyebabkan kurang terjalinnya interaksi yang hangat dan harmonis antar etnis;
b. Kebijakan ekonomi pemerintah khususnya Orde Baru yang sangat diskriminatif
terhadap etnis Tionghoa. Di satu sisi larangan pemerintah yang membatasi dan
memfokuskan ruang gerak minoritas etnis Tionghoa pada bidang ekonomi sehingga
terjadi peningkatan yang menakjubkan terhadap perekonomian warga Tionghoa, namun
di sisi lain kegiatan perekonomian masyarakat non etnis Tionghoa menjadi
semakin terpinggirkan. Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa ini telah berdampak
negative pula yaitu menyebabkan berkurangnya partisipasi aktif politik etnis
Tionghoa bahkan terkesan apatis (tidak peduli dengan situasi perpolitikan
nasional); d. Hendaknya konsep tentang asimilasi diarahkan pada asimilasi yang wajar, yang lebih menekankan sifat
sukarela dari pembauran, dan tidak membenarkan hambatan yang sengaja dibuat
terhadap proses asimilasi, tetapi juga sebaliknya tidak dapat menyetujui
tindakan paksaan asimilasi; e. Kebijakan politik yang diskriminatif pada masa
Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto, alih-alih berusaha untuk
mewujudkan asimilasi total pada seluruh aspek kehidupan orang Tionghoa justeru
berperan sangat besar dalam kepunahan budaya Nusantara.; f. Perlunya penguatan
paham asimilasi dengan integrasi “ke-Tionghoa-an” sebagai suku yang sederajat
dengan suku-suku lain di Indonesia. Sedangkan konsep asimilasi (pembauran
bersifat pemaksaan) berarti menghilangkan identitas “ke-Tionghoa-an” tersebut
secara berangsur-angsur sudah selayaknya untuk ditinggalkan karena tidak sesuai
lagi dengan perkembangan jaman dan melanggar HAM; g. Perlunya pendidikan
multikulturalisme sejak dini melalui lembaga-lembaga pendidikan formal dan non
formal agar pada tiap siswa/anak didik lebih dini muncul/tertanamkan rasa
toleransi terhadap keberagaman budaya, agar mampu menjadi pengikat dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Sikap saling menghargai, toleransi, mampu hidup bersama
dalam keragaman adalah tujuan dari multikulturalisme, yang dapat dimiliki
setiap insan melalui pendidikan multikultural. Selain itu, akan pula timbul pengakuan
atas pluralisme budaya. Sebab pluralisme budaya bukan suatu pemberian (given),tetapi merupakan suatu proses
internalisasi nilai-nilai di dalam suatu komunitas; g. Asimilasi yang tidak sekedar formalistik
yaitu hanya menyentuh dunia simbolik yang terkait dengan dunia sosial seperti
pergantian nama, bahasa, dan agama (kepercayaan) serta bukan sosial budaya atau
kebudayaan dalam arti perilaku manusia dalam masyarakat yang telah terpola
sedemikian rupa. Beruntung di wilayah Provinsi Kalimantan Barat khususnya di
Kota Singkawang yang berjuluk kota Amoy ini masih mampu mempertahankan budaya
Tionghoa. Keturunan Tionghoa di sana beruntung karena 40 persen penduduknya
berasal dari etnis Tionghoa. Namun tidak semuanya juga bisa membaca atau
menulis huruf Mandarin, meski cakap berbicara bahasa tersebut. Perayaan-perayaan
budaya Tionghoa seperti Imlek, Cap Go Meh dan sebagainya pun terasa amat kental
auranya dengan hiasan lampu-lampu lampion di Kota Singkawang jika dibandingkan
dengan di kota-kota lainnya.
Berkaitan dengan kebijakan asimilasi bersifat
pemaksaan yang pernah diterapkan pada masa Orde Baru khususnya terkait
kewajiban penggantian nama dari nama yang bersifat ke-Tionghoa-an menjadi nama lokal
menurut hemat penulis amatlah tidak manusiawi, sebab pernahkah terbetik di
pikiran kita, kira-kira di negara lain mana pemerintahnya mewajibkan orang
nonpribumi untuk mengganti nama mereka supaya sama dengan orang-orang
pribuminya?? Barangkali bisa ditanyakan kepada saudara kita yang tinggal di Argentina
apakah disuruh mengganti namanya menjadi Maradona atau Messi atau apa?
*) Penulis adalah Kepala Seksi Informasi pada Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kalimantan Barat